Header Ads

Breaking News
recent

Kisah Perjalanan Bisnis Abdul Latief

Merasa familiar dengan nama ini? Tentu saja. Tokoh yang sekarang akan kami bahas merupakan pengusaha Indonesia yang juga pernah menjabat sebagai menteri di era Orde Baru. Ingat jaringan televisi Lativi? Tokoh ini adalah orang dibaliknya. Meskipun bukan kekayaannya yang diekspos (seperti kebanyakan tokoh lain), Abdul Latief tetap perlu diacungi jempol atas semua jerih payahnya.


Sekilas tentang Abdul Latief


Meskipun lahir di Banda Aceh, Latief merupakan keturunan Minangkabau. Ia lahir pada tanggal 27 April 1940 sebagai anak ke-6 dari sembilan bersaudara. Orang tuanya diketahui sebagai aktivis Muhammadiyah di Aceh. Ketika Latief masih berumur empat tahun, ayahnya meninggal dunia. Latief pun akhirnya dibesarkan oleh ibunya seorang diri ketika Indonesia masih berada di suasana perang dan suasana politik yang juga panas. Meskipun ibunya menginginkan Latief untuk menjadi pedagang, Latief tetap bercita-cita untuk menjadi seorang politikus handal. Tahun 1950, Latief dan keluarga pindah ke Jakarta dengan harapan mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Pria lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Krisnadwipayana, Jakarta, ini telah memulai perjalanan bisnisnya sejak kuliah. Ketika masih berkuliah, Latief juga memanfaatkan keadaan politik Indonesia yang saat itu sedang kacau. Demonstrasi yang terjadi dimana-mana membuat Latief dapat mengambil peran sebagai pemasok makanan bagi para demonstran. Setelah itu, ia bekerja di sebuah toserba bernama Toserba Sarinah. Di tempat itu, Latief bertugas untuk mempelajari manajemen toserba dan supermarket Seibu Group di Tokyo, Jepang. Sepulangnya dari Jepang, Latief menawarkan konsep pemasaran yang ia pelajari untuk dimasukkan ke dalam konsep pemasaran Toserba Sarinah, namun tawarannya ditolak oleh atasannya. Pada tahun 1967, ia menikah dengan seorang gadis yang tinggal di dekat rumahnya, yaitu Nursiah.


Lika-liku bisnis

Setelah berhenti dari Toserba Sarinah pada tahun 1971, Latief memutuskan untuk menjadi pengusaha dan akan mengembangkan toserbanya sendiri. Untuk merealisasikan keinginannya tersebut, Latief membeli sebuah toko kecil di Grogol, Jakarta. Dengan modal ilmu yang ia dapatkan ketika di Jepang, Latief memanfaatkan modal dan relasi yang ia punya untuk memantapkan usaha barunya ini. Pada tahun yang sama, Latief sudah menjadi seorang eksportir barang-barang kerajinan, meskipun masih dalam skala kecil. Ia juga mulai mencoba meminjam kredit dari bank dengan jaminan tanah. Ia mendapatkan kredit komersial dengan nominal 30 juta Rupiah dari BDN. Kemudian, ia mendirikan PT Latief Marda Corporation yang bergerak di bidang ekspor dan impor. Menurut Latief, perkembangan usaha ini tidak lepas dari bantuan adiknya, Abdul Muthalib.

Pada tahun 1973, Latief menjual tanah miliknya yang terletak di Jakarta By Pass. Karena lokasinya yang strategis, harga jualnya pun sangat tinggi. Hasil penjualan itu pun ia gunakan untuk mendirikan PT Indonesia Product Centre Sarinah Jaya. Ia memilih nama itu karena menurutnya di nama tersebut terkandung nilai historis (maksudnya adalah tempat Latief pertama kali bekerja). Tidak perlu waktu lama, setahun kemudian perusahaannya ini telah mengalami perkembangan yang pesat. Perusahaan ini kini sudah tidak hanya mengurus urusan ekspor dan impor, tetapi sudah mulai merambah ke dunia properti. Tahun 1975, ia membuka cabang pasar swalayan di Singapura.


Menggunakan uang yang ia kumpulkan selama beberapa tahun, Latief mendirikan Pasaraya di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, pada tahun 1981. Kesuksesannya ini ternyata menarik para pemerintah Indonesia pada saat itu. Karena Latief telah mengangkat perekonomian pengusaha kecil, ia sering disebut sebagai “Pahlawan pengusaha kerajinan rakyat Indonesia”. Pria yang tidak suka disebut sebagai “konglomerat” ini mulai merasakan kerasnya dunia bisnis pada tahun 1984. Pada tahun itu, Pasaraya Sarinah Jaya miliknya terbakar. Ia harus menanggung kerugian hingga puluhan miliar. Untungnya, Latief tidak perlu menanggung kerugiannya itu sendiri. Ia dibantu oleh pihak asuransi, rekan-rekannya, dan pihak pemerintah maupun swasta. 

Tempat usaha 2000 pengusaha kecil itu segera ia perbaiki kembali. Latief malah berupaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya alam miliknya. Sebanyak 1200 karyawannya ia suruh untuk mempelajari ilmu manajemen, komputer, akuntansi, dan bahasa Inggris. Tidak tanggung-tanggung, untuk mewujudkan keinginannya ini, Latief mendatangkan pelatih dan pengajar  ahli dari Singapura dan Hong Kong.
Setelah diperbaiki, Pasaraya Sarinah berdiri sebagai gedung berlantai sembilan dengan luas lantai mencapai 42.000 meter persegi. Setiap tahun, penjualan di Pasaraay Sarinah terus meningkat. Hal ini membuat Kawasan Blok M menjadi incaran para pengusaha bisnis eceran.


Latief dan pengusaha kecil

Komitmennya dalam membesarkan pengrajin kecil membuat ia dipercaya menjadi Ketua Kompartemen Perdagangan dan Koperasi Kadin Indonesia periode 1979 hingga 1982. Kesenjangan antara pengusaha kecil (yang sering diasumsikan sebagai pengusaha pribumi) dan pengusaha kuat (yang sering diartikan sebagai pengusana non-pribumi) merupakan hal serius yang ingin diangkat oleh Latief. Ia khawatir dunia bisnis Asia, khususnya Indonesia, menjadi lahan garapan pengusana non-pribumi.

Kini, Abdul Latief terus mengelola Alatief Corporation. Semakin lama, semakin banyak mitra dan perusahan kecil yang ia bimbing untuk dimajukan. Bentuk nyata lainnya dari Latief atas usahanya memajukan pengusaha kecil adalah ketika ia menjadi salah satu orang yang menentang kehadiran suatu pasar swalayan terbesar di dunia dari Jepang, yaitu SOGO, untuk masuk ke Indonesia.

Sembari masih membela pengusaha kecil, Latief juga membuka pembibitan benur di Bulikumba, Sulawesi Selatan. Usaha tersebut menghasilkan sekitar 100 juta benur tiap tahunnya. Latief juga membuka tambak udang seluas 120 hektar dengan hasil mencapai 4 ton per hektar. Di bawah bendera Alatief Corporation, kini Latief mengelola bisnis periklanan, agrobisnis, hotel, asuransi, properti, konstruksi, eceran, dan media massa. Pada usianya yang ke-74 ini (2013), kegiatan bisnisnya banyak yang ditangani oleh putra dan putrinya, yaitu Medina Latief Harjani dan Ahmad Dipo Ditiro.

Sebagai tambahan, kami akan menjelaskan pula kehidupan Latief di dunia organisasi dan politik. Latief, selain pengusaha, juga merupakan salah satu pendiri dan ketua umum pertama dari Himpunan Pengusaha Muda Indonsia (HIPMI). Pada masa kabinet pemerintahan Soeharto, Latief pernah dipercaya untuk menjadi Menteri Tenaga Kerja pada tahun 1993 hingga 1998 dan Menteri Pariwisata, Seni, dan Budaya pada tahun 1998. Pada tahun 1998 itu, Latief—dan belasan menteri lainnya—menyatakan mengundurkan diri dari Kabinet Pembangunan VII. Kemundurannya tersebut merupakan awal kejatuhan pemerintah Soeharto.

Begitulah kira-kira ringkasan hidup pria yang selalu terlihat segar dan bersemangat ini. Banyak hal yang perlu dicontoh dari lelaki yang sering tampil trendy, modis, dan gemar berolahraga ini, misalnya konsisten membantu pengusaha kecil.
Diberdayakan oleh Blogger.