Header Ads

Breaking News
recent

Kisah Perjalanan Bisnis Siswono Yudo Husodo

Pria yang satu ini tentu saja terkenal di dunia politik. Bagi penyuka politik, nama Siswono Yudo Husodo pasti sudah tidak asing lagi. Ia adalah seorang pengusaha dan politikus Indonesia. Ia juga pernah mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden Indonesia pada Pemilu 2004 dengan Amien Rais sebagai calon Presidennya.

Siswono Yudo Husodo menjabat sebagai Menteri Negara Perumahan Rakyat pada Kabinet Pembangunan, yaitu tahun 1988 hingga 1993 dan Menteri Transmigrasi pada Kabinet Pembangunan VI, yaitu dari tahun 1993 hingga 1998. Bukan itu saja, Siswono juga merupakan mantan Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia pada tahun 1973 hingga 1977 dan Ketua Persatuan Pengusaha Real Estat Indonesia pada tahun 1983 hingga 1986.




Profil

Siswono lahir di  Long Iram, Kutai Barat, Kalimantan Timur pada tanggal 4 Juli 1943. Ia merupakan lulusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1968.  Ia merupakan orang yang ahli dalam menerangkan bagaimana mengawinkan domba, memilih bibit domba unggul, dan bercocok tanam tembakau dan sayur mayur. Ia menaruh perhatian yang besar terhadap masalah pertanian yang ada di Indonesia. Hal ini membuat ia diangkat menjadi Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) sejak 1999.

Ketika masih menjadi mahasiswa, ia merupakan Wakil Komando Laskar Soekarno.Sebelum Siswono membangun CV Bangun Tjipta Sarana—yang sekarang bernama PT Bangun Tjipta Sarana— sebuah kelompok usaha dengan bisnis inti konstrruksi, bersama temannya, ia telah berdagang bawang putih dan kedelai saat diskors satu setengah tahun di ITB karena menjadi Wakil Komandan Barisan Soekarno. Tapi, pada era Soeharto, ia malah diangkat menjadi menteri dalam dua kali kabinet.  Keadaan ini menjadikan Siswono sebagai sosok yang unik sekaligus kontroversial.


Mendirikan bangun Tjipta

Ketika Bangun Tjipta didirikan, Siswono dan rekannya hanya memiliki modal sebesar 7,5 juta Rupiah. Bisnis yang dimulai pada tahun 1969 ini awalnya dijalankan di garasi milik orang tua Siswono di kawasan Menteng. Ia dan rekannya itu hanya mengerjakan proyek kecil seperti memperbaiki WC dan membuat rumah. Bisnis kecil-kecilannya itu tampaknya terus berkembang hingga akhirnya ia mulai membuat jalan tol dan kawasan perumahan. Tidak berhenti sampai di situ, ia mengembangkan usahanya hingga merambah ke dunia perdagangan alat-alat berat. Dengan perkembangannya ini, ia membangun PT Asniaga Sarana. “PT Bangun Tjipta Sarana itu lebih ke properti, termasuk kompleks Perumahan Kemang Pratama,” jelas Siswono.

Seperti yang sudah disebutkan, Siswono menaruh perhatian yang besar terhadap pertanian. Hal ini disebabkan oleh masa kecilnya yang tidak terlepas dengan suasana pertanian. Ketika masih menginjak sekolah dasar di Kendal, ia sering melihat teman-temannya (yang merupakan anak petani) menggembalakan kerbau sambil melihat keindahan alam Gunung Perahu, Gunung Ungaran, Gunung Sindoro, dan Gunung Sumbing. Ia juga sering memperhatikan kehidupan keluarga petani yang penuh dengan kesederhanaan, keyakinan, ketekunan, dan kepasrahan kepada alam. Lingkungan seperti ini tampaknya memberikan dampak yang cukup kuat di hati Siswono.

Siswono selalu yakin akan potensi Indonesia. Pada tahun 1950-an, petani memiliki sawah paling tidak lima hektar. Petani banyak yang berkecukupan, bahkan kaya. Namun, dengan adanya perubahan generasi, terjadi fragmentasi lahan. “Kita membiarkan petani hidup di bawah kelayakan skala ekonomi,” kata Siswono membela para petani.

Selama menjadi menteri pada masa Orde Baru, ia terbukti tidak “hanyut” dalam suasana yang otoriter dan penuh kasus korupsi. Ia tidak menggunakan kesempatan melakukan KKN untuk menguntungkan dirinya sendiri maupun kerabatnya. Tidak seperti kebanyakan orang yang hanya mendukung gerakan anti korupsi ketika tidak memiliki kekuasaan dan kesempatan, Siswono benar-benar meneriakkan anti korupsi dan membuktikan teriakannya itu. Sayangnya, ia tidak memiliki kekuasaan yang cukup untuk benar-benar menghentikan korupsi.

Menjadi menteri

Ketika usia usahanya (PT Bangun Tjipta) sudah mencapai kepala tiga—berarti dua puluh tahun dari sejak ia berdiri dan sepuluh tahun ia lepaskan karena menjadi menteri—perusahaan menjadi jauh lebih baik. Hal ini tentu saja berkat pengkaderan yang baik sebelumnya. Sepuluh tahun Siswono benar-benar menyerahkan usahanya kepada pihak manajemen untuk dikelola dengan baik. Ia melepaskan manajemen dan tidak memegang saham sama sekali. Ia ingin mencegah adanya pertentangan dalam batin. Menurut Siswono, kehadiran pendiri dalam manajemen merupakan hal yang berbahaya karena menjadikan para staf dan manajemen akan cenderung mengiyakan seluruh keinginan pendiri.

Setelah jabatan menterinya habis, ia kembali memimpin dua grup perusahaannya, yaitu Bangun Tjipta Sarana dan Artha Guna Tjipta Sarana yang bergerak di bidang investasi perusahaan. Artha Guna tjipta Sarana ini juga memiliki Jakarta Design Center, apartemen Semanggi, tambak ikan di Jawa Tengah, dan kebun kelapa sawit di Sumatera Selatan. Ia kembali ke perusahaannya itu tidak sebagai Direktur Utama, tetapi sebagai Presiden Komisaris. Ketika terjadi krisis ekonomi, ia bersyukur telah menerapkan kebijakan tidak meminjam dollar sehingga bisnisnya selamat.


Ujian dalam bisnis

Siswono mengatakan bahwa perjalanannya menjadi pengusaha tidak selalu berjalan mulus. Meskipun berhasil melewati krisis ekonomi, usahanya juga pernah hampir mengalami kebangkrutan. Ia mengatakan bahwa setiap pukulan yang tidak membunuh kita, akan membuat kita menjadi lebih kuat. Sama seperti perjalanan bisnisnya, Siswono juga mengaku bahwa perjalanan hidupnya dalam birokrasi dan dunia politik pun tidak berjalan semudah yang ia harapkan.

Selama sepuluh tahun ia menjabat sebagai menteri, ia merasakan betul bagaimana rasanya harus berjuang di tengah arus deras korupsi. Meskipun ia memegang triliunan Rupiah di tangannya, ia tidak tergoda untuk mengambil uang rakyat itu sedikit pun. Ia merasa posisi menteri merupakan kesempatannya untuk mengabdi pada rakyat. Pada saat ia diangkat menjadi menteri pun, ia harus menghadapi kenyataan bahwa ia harus meninggalkan bisnisnya yang sedang berada di puncak. Ia harus melepaskan semua jabatan pentingnya di beberapa perusahaan.

Kini, pria berumur 71 tahun ini beralih profesi menjadi seorang petani. Tampaknya rasa tertariknya akan dunia pertanian memang masih melekat kuat di dirinya. Ia gemar mengendarai sepeda motornya menyusuri Jalan Jakarta-Awangan, Kabupaten Bogor untuk melihat salah satu peternakan dombanya yang memiliki luas sekitar 20 hektar.Meskipun tidak turun langsung, ia masih membantu kehidupan masyarakat sekitar dengan menyediakan lapangan kerja. Dan kini, itulah hal yang ia lakukan pada akhir pekannya.
Diberdayakan oleh Blogger.