Header Ads

Breaking News
recent

Kisah Perjalanan Bisnis A Kasoem

Apabila Anda pernah membeli kacamata atau paling tidak mengantar teman dan keluarga mencari kacamata, kemungkinan besar Anda akan merasa familiar dengan tokoh yang satu ini, khususnya warga asli Garut dan Bandung. A Kasoem merupakan orang pribumi pertama yang merintis usaha kacamata di Indonesia. Pria yang telah memberikan banyak “peninggalan” bagi warga Indonesia ini merupakan pengusaha asal Jawa Barat.



Motivasi awal

Atjoem Kasoem atau yang lebih sering disebut sebagai A. Kasoem ini lahir di Kampung Bojong, Kadungora, Garut, pada tanggal 9 Januari 1917. Ia dan enam saudaranya terbiasa hidup sederhana karena  A. Kasoem sendiri merupakan anak dari seorang petani berupah kecil bernama Hasan Basri. A. Kasoem yang menempuh pendidikannya hanya hingga Taman Dewasa Perguruan Taman Siswa ini pernah ikut membela kemerdekaan Indonesia. Ketika masih sekolah di Taman Siswa, ia dikenal aktif dalam berbagai organisasi pergerakan. Keaktifan dan kegigihannya dalam memperjuangkan Indonesia membuat ia akhirnya dapat mengenal berbagai tokoh penting pada saat itu, Mohammad Hatta dan Ir. Soekarno, misalnya.

Perjalanan bisnis kacamata A. Kasoem dimulai ketika ia bekerja di sebuah toko kacamata milik pria berkengsaan Jerman di Jalan Braga, Bandung. Dari Kurt Schlosser, bosnya, ia mulai mengetahui berbagai hal mengenai kacamata. Kurt pernah mengatakan kepada A. Kasoem, “Apa gunanya sama kalian kemerdekaan tanah air itu. Kenyataannya kini perekonomian di seluruh Indonesia dikuasai oleh bangsa asing, baik orang kulit putih, China, India, Arab, dan lain-lain. Percuma sama kalian merdeka itu, kalau perekonomiannya tidak dikuasai oleh pribumi”. 

Kurt melanjutkan, “Jika kamu mau merdeka juga, tuntutlah olehmu ilmu kacamata ini. Perusahaan ini dibutuhkan oleh manusia sepanjang masa. Sebab telah hukum alam, bahwa penglihatan manusia sesudah 40 tahun selalu kabur. Dan mereka membutuhkan kacamata. Dengan ilmu ini, kamu akan dapat membesarkan nama bangsamu. Kamulah kelak akan menjadi raja kacamata satu-satunya di Indonesia. Tetapi, dengan hanya menguasai ilmu kacamata ini saja belum memadai untuk menjadi orang yang terhormat. Kamu harus melatih dirimu ahli dan cakap pula menjualkannya kepada masyarakat ramai. Ilmu dagang tidak ada di sekolah dipelajari atau dituntut kepada orang lain. Kecakapan ini akan tumbuh berkat pengalaman, dan didorong oleh kemauan yang keras untuk merubah nasib. Ilmu dan pengalaman ini akan dapat kamu turunkan kelak kepada anak cucumu”.



Dengan ilmu dan motivasi dari Kurt, A. Kasoem memberanikan diri untuk mulai menjual kacamata dagangannya dengan cara berkeliling ke rumah-rumah menggunakan sepedanya. Rupanya, semangat berdagangnya itu akhirnya membawanya ke tahap selanjutnya. A. Kasoem berhasil membuka toko kacamata sendiri di Jalan Pungkur. Bisnisnya ini pun disambut hangat oleh masyarakat sehingga A. Kasoem dapat berekspansi hingga ke Solo, Yogyakarta, dan Jakarta. Meskipun sudah menjadi seorang pemilik toko, A. Kasoem tetap ikut berkontribusi dalam pergerakan nasional. Kontribusinya itu membuat ia dapat memperluas relasinya. Saat tentara Jepang masih berkuasa di Indonesia, A. Kasoem pun berhasil membuka toko kacamata di Jalan Braga berkat bantuan Ki Hajar Dewantara dan Mohammad Hatta.


Dari kota ke kota

Anak ke empat dari tujuh bersaudara ini terkenal di kalangan pemuda pada saat itu karena ia sering membantu para mahasiswa yang berada di dalam kesulitan. Ia mengaku senang dan bangga kepada pemuda yang memiliki nasionalisme tinggi, apalagi mahasiswa yang rajin dan tetap fokus pada kuliahnya.
Ketika peristiwa Bandung Lautan Api terjadi, A. Kasoem pindah ke Klaten, Jawa Tengah, untuk mengungsikan keluarganya. Kemudian, A. Kasoem mendirikan toko kacamata di Yogyakarta dan pabrik penggosok kacamata di daerah Klaten atas saran Muhammad Hatta yang pada saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden. Setelah Indonesia resmi mendapatkan kedaulatannya, A. Kasoem kembali ke Bandung. Melihat toko kacamatanya—yang berlokasi di Jalan Braga—telah dikuasai oleh orang China, ia mengajukan gugatan ke pengadilan hingga akhirnya kepemilikan toko tersebut pun kembali ke tangan A. Kasoem.

Sekitar tahun 1960, A. Kasoem pergi ke Jerman dengan tujuan menambah pengalaman dan wawasannya. Lelaki yang tidak pernah puas dengan pencapaiannya ini belajar optik dan kemudian magang di pabrik milik Dr. Herman Gebest. Pribadi A. Kasoem yang selalu bersungguh-sungguh ini menarik perhatian Dr. Herman Gebest. “Ilmu pembikin kacamata ini tidak akan mungkin kamu kuasai hanya bekerja sebagai praktiknya saja. Ilmu ini harus kamu pelajari sedalam-dalamnya. Dan ini akan tercapai, kalau saya sendiri memberikan pelajarannya kepadamu. Tetapi syaratnya kamu harus belajar dengan saya di rumah, sesudahnya jam bekerja di pabrik,” tutur Dr. Herman Gebest. A. Kasoem yang bersemangat pun langsung menerima tawarannya.


Kembali ke Indonesia


Setelah mampu menguasai ilmu pembuatan kacamata, baik secara teoritis maupun praktis, A. Kasoem kembali ke Indonesia. Sebelumnya, A. Kasoem selalu memesan bahan-bahan pembuat kacamata seperti gagang dan kaca dari luar negeri. Tetapi, A. Kasoem kemudian berniat untuk membuat seluruh kacamatanya di Indonesia. Dengan bantuan modal dari bank, A. Kasoem kemudian mendirikan pabrik lensa bifokus di Kadungora, Garut, pada tahun 1970. Pada saat itu, pabrik milik A. Kasoem ini merupakan pabrik bifokus pertama di Indonesia dan terbesar di Asia. Sejak pabriknya didirikan, tawaran modal dari pihak luar negeri pun terus mengalir. Tidak sedikit pihak dari luar negeri yang ingin bekerja sama dengan A. Kasoem.

Antara tahun 1961 dan 1971, A. Kasoem menyisihkan waktunya untuk menjadi dewan kurator atau pembina mahasiswa di sejumlah perguruan tinggi dan organisasi kemahasiswaan, seperti Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Padjadjaran (Unpad), Universitas Pasundan (Unpas), dan Himpunan Mahasiswa Indonesia.

A. Kasoem menunjukkan rasa bangganya atas keahlian dan kecakapan dirinya dalam membuat kacamata. Lelaki yang bercita-cita memproduksi lensa potret, mikroskop, dan alat optik lainnya ini dipercaya leh Mohammad Hatta dan Ir. Soekarno untuk memelihara, memeriksa, dan membuat kacamata untuk Soekarno, Hatta, para menteri, jenderal, dan para pembesar serta pemimpin Indonesia. Tidak hanya orang-orang terkemuka saja, masyarakat biasa pun banyak yang datang ke A. Kasoem untuk membeli dan membuat kacamata.

Tanggal 11 Juni 1979 kemudian menjadi tanggal yang diingat oleh banyak orang. Pada hari itu, A. Kasoem meninggal dunia di Bandung. Bisnis kacamatanya pun diteruskan oleh delapan anak serta cucunya dengan menggunakan berbagai merek dagang yang berbeda, seperti A Kasoem, PT Kasoem, Lily Kasoem, dan Cobra, yang hingga kini sudah tersebar di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Solo, Yogyakarta, dan lain-lain.
Diberdayakan oleh Blogger.